
Organisasi eksternal kampus hari ini kerap terjebak dalam romantisme masa lalu dan rutinitas politik internal yang kering dari substansi. Mereka terlalu sibuk mengulang pola kaderisasi formal yang hanya melahirkan loyalis, bukan intelektual. Energi besar yang seharusnya digunakan untuk membaca realitas sosial, mengkritisi perubahan zaman, dan merumuskan gagasan segar untuk masa depan bangsa malah tersedot pada dinamika politik sempit, rebutan jabatan, simbol, dan pengakuan identitas organisasi.
Gerakan mereka kehilangan relevansi karena gagal beradaptasi dengan konteks baru. Di tengah revolusi digital, krisis ekologi, disrupsi ekonomi, dan degradasi moral sosial, mereka masih sibuk berdebat tentang siapa yang paling ideologis, bukan siapa yang paling solutif. Kaderisasi mereka kaku, terjebak pada seremonial dan jargon tanpa ruang bagi kreativitas, riset, maupun inovasi pemikiran.
Organisasi eksternal yang sejatinya diharapkan menjadi kawah candradimuka intelektual mahasiswa kini cenderung menjadi arena reproduksi dogma lama. Mereka lupa bahwa generasi muda tak lagi membutuhkan ideologi yang membelenggu, melainkan wawasan kritis, fleksibilitas berpikir, dan keberanian untuk beradaptasi dengan perubahan zaman. Jika tidak segera bertransformasi, organisasi semacam ini akan kehilangan relevansi, hanya menjadi artefak sejarah yang dibicarakan, bukan gerakan yang diikuti.
Lebih menyedihkan lagi, idealisme mahasiswa yang dulu menjadi bahan bakar perubahan kini mulai tergerus oleh pragmatisme pikiran. Banyak mahasiswa tak lagi bergerak karena kesadaran, tetapi karena kepentingan. Idealisme yang dulu lahir dari keresahan intelektual kini digantikan oleh keinginan instan: posisi, jaringan, dan keuntungan pribadi. Pergerakan mereka kehilangan makna karena dijalankan tanpa nurani dan refleksi.
Mahasiswa yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam kritik sosial justru banyak terjebak dalam zona nyaman intelektual semu, berpikir dangkal, cepat puas dengan narasi viral, dan enggan berjuang di ruang-ruang sunyi pembacaan realitas. Jika keadaan ini dibiarkan, maka kampus bukan lagi ladang lahirnya pemikir bangsa, melainkan pasar ide kosong yang hanya menjual slogan perjuangan tanpa isi.
Pergerakan mahasiswa dan organisasi eksternal harus berani melakukan otokritik. Mereka perlu menyalakan kembali api idealisme yang berpijar dari kesadaran intelektual, bukan dari kepentingan pragmatis. Sebab tanpa pembaruan arah dan keberanian berpikir, semua gerakan hanya akan menjadi ritual tanpa makna, hidup tapi tak bernyawa.
Penulis: Bad’ul H.A (Dosen IMA Kota Banjar)