Sejarah panjang Institut Miftahul Huda Al-Azhar (IMA) Banjar tidak lepas dari pendirian Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo (PPMAC) yang terletak di Dusun Citangkolo, Kujangsari, Langensari, Kota Banjar, Jawa Barat. Semua berawal dari keprihatinan KH. Marzuki Mad Salam, seorang ulama muda dari Grumbul Kelawan, Desa Gung Agung, Kecamatan Bulus Pesantren, Kebumen, Jawa Tengah. Pada masa penjajahan kolonial Belanda, beliau merasa prihatin dengan kondisi umat Islam yang terjajah, baik dalam hal spiritualitas maupun pendidikan.
Dengan keterbatasan materi, KH. Marzuki Mad Salam berdoa dan bermujahadah, memohon petunjuk Allah SWT. Berkat doa dan usahanya, beliau mendapat petunjuk untuk keluar dari lingkungan asalnya dan mencari tempat yang lebih tepat untuk memperjuangkan ilmu dan dakwah Islamiyah. Setelah melalui beberapa perjalanan di wilayah Gombong, Tambak, dan Sitinggil, pada tahun 1911, beliau tiba di Citangkolo, sebuah wilayah yang pada saat itu merupakan hutan belantara yang dikenal angker dan penuh binatang buas.
Pada tanggal 10 Muharam 1911, KH. Marzuki mendirikan Mushola Panggung dengan ukuran 2×3 meter. Lima tahun kemudian, lahan tersebut mulai menghasilakan hasil bumi yang cukup, dan kegiatan keagamaan mulai berjalan dengan baik. Pada 1916, KH. Marzuki membawa keluarganya dari Grumbul Kelawan menuju Citangkolo, termasuk membawa anaknya yang masih bayi, Badrun, yang kelak akan meneruskan perjuangannya. Mushola tersebut akhirnya diubah menjadi Mushola Lemprekan atau Lesehan, dengan ukuran yang lebih besar, 5×9 meter.
Pada tahun 1923, Mushola tersebut resmi menjadi Masjid Jami’ yang semakin ramai dengan kegiatan keagamaan dan menjadi pusat pergerakan dakwah Islam. Pada tahun 1926, Sinuhun Bupati Tasikmalaya memberikan penunjukan resmi yang semakin memperkuat eksistensi Masjid Jami’ Citangkolo. Pada masa itu, banyak pemuda dan pemudi sekitar yang menjadi santri dan belajar agama di sana.
Seiring dengan perkembangan waktu, pada masa sebelum dan sesudah kemerdekaan, Masjid dan Pondok Pesantren Citangkolo menjadi basis penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kiyai Badrun Bin Marzuki yang merupakan putra dari KH. Marzuki Mad Salam, memimpin Hisbulloh, sebuah pergerakan rakyat yang membantu perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan Belanda dengan semangat Aswaja (Ahlussunnah wal Jamaah), serta senjata bambu runcing yang telah disuwuk. Masjid dan pondok pesantren di Citangkolo menjadi sasaran tembak Belanda setelah peristiwa tergulingnya kereta api di jembatan Cibeureum, Desa Mulyasari, Kecamatan Pataruman, Kota Banjar.
Setelah masa perang kemerdekaan, Kiyai Badrun yang sempat mondok di Kesugihan (Pondok Pesantren Al Ihya Ulumaddin) di bawah bimbingan KH. Badawi Hanafi pada 1948, kemudian kembali ke Citangkolo pada 1960. Pada saat itu, Pondok Pesantren Citangkolo dalam keadaan vakum karena kehilangan pemimpin. Kiyai Badrun memulai kembali pembangunan dan pengembangan pondok pesantren ini pada 10 Muharam 1960, yang diubah namanya menjadi Pondok Pesantren Miftahul Huda.
Pada 10 Muharam 1987, Pondok Pesantren ini ditambahkan nama Al-Azhar, menjadi Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, yang mulai dibantu oleh putra beliau yakni KH. Abdurrohim, lebih lanjut KH. Abdurrohim dikuatkan juga oleh Putranya yakni KH. Munawir Abdurrohim MA, dan KH. Muslih Abdurrohim, M.Pd.I, serta lainnya. Pada periode ini, pendidikan formal dimulai dengan didirikannya SMP, SMA, dan Aliyah (MA) yang dimotori oleh dzuriyah atau keturunan langsung dari KH. Marzuki Mad Salam.
Pada 19 September 2012, Yayasan Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo resmi berdiri sebagai lembaga yang menaungi berbagai institusi pendidikan yang ada di Citangkolo. Yayasan ini fokus pada pendidikan Islam, dakwah, dan sosial. Kegiatan utama dari yayasan ini antara lain adalah membuka perpustakaan dengan koleksi buku-buku Islam dan ilmu pengetahuan lainnya, serta menyelenggarakan Majelis Ta’lim secara berkala.
Yayasan ini pada awalnya bernama Yayasan Pengamalan Pendidikan Islam Miftahul Huda (YaPPIM), yang dipimpin oleh KH. Munawir Abdurrohim, MA, putra sulung dari KH. Abdurrohim. Di bawah kepemimpinan beliau, banyak lembaga pendidikan dibangun mulai dari PAUD, RA, MI, MTs, SMP, SMA, MA, SMK, hingga perguruan tinggi seperti Institut Miftahul Huda Al-Azhar (IMA).
Pada 1 Mei 2003, Sekolah Tinggi Agama Islam Miftahul Huda Al-Azhar (STAIMA) resmi didirikan sebagai langkah awal untuk memberikan pendidikan tinggi berbasis pesantren. STAIMA berfokus pada pengembangan pendidikan tinggi di bidang Ilmu Pendidikan Islam, Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyah), Ekonomi Syariah, dengan tujuan menghasilkan lulusan yang kompeten di bidang Pendidikan, Hukum, dan Ekonomi.
Pada 18 Januari 2024, STAIMA resmi bertransformasi menjadi Institut Miftahul Huda Al-Azhar (IMA) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 131 Tahun 2024. Perubahan status ini menjadi sebuah langkah maju untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan memperluas cakupan program akademik. Saat ini, IMA Banjar menawarkan program-program unggulan di tiga fakultas:
IMA Banjar kini memiliki visi untuk menjadi Perguruan Tinggi Islam Berbasis Pesantren yang Unggul, Inklusif, Adaptif, dan Rahmatan lil ‘Alamin pada Tahun 2035, dengan misi mengembangkan pendidikan yang integratif antara ilmu agama dan pengetahuan modern, serta melahirkan lulusan yang berkarakter ulama, pemimpin masyarakat, dan tokoh agama yang moderat dan visioner.
Dengan perkembangan ini, IMA Banjar berkomitmen untuk terus berkontribusi dalam membangun generasi masa depan yang berintegritas, memiliki kompetensi tinggi, dan siap menghadapi tantangan global.
Kini, IMA Banjar menjadi salah satu perguruan tinggi Islam yang menawarkan pendidikan berbasis pesantren dengan pendekatan yang modern dan adaptif terhadap perubahan zaman. IMA siap menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, serta pembentukan karakter generasi penerus bangsa yang tangguh dan berintegritas, dengan tetap berpegang pada nilai-nilai keislaman yang rahmatan lil ‘alamin.